Sumber Gambar : www.suaraharapan.comPenulis : M Rifki Kurniawan |
Awal dari pemikir dan grilya politik
Sebuah negara pasti memiliki landasan, untuk berwarga negara. Terutama kepada Indonesia yang memiliki pancasila guna menata cara berwarga negara dengan cita cita luhur para pendulu negara tentunya.
Pada era orde lama, Indonesia mengalami sebuah transisi ideologis dan sektor ekonomi-politik. Krisis ekonomi dan ketimpangan sosial menghantui, kala itu. Dan sektor politik sudah buntu, tidak terobosan dari kubu pemerintahan Soekarno (Presiden RI, Pertama).
Lahirlah mahasiswa yang kritis dan subtansial pada saat, dengan organisasi yang memiliki ranah potensial kepada kawasan politik. Seperti halnya HMI, PMII, PMKRI, GMNI, CGMI, MAPALA, KAMI, GMKI. Organisasi yang berbasis kepada diskursus idelogy politik tentunya memasifkan pembhasan sektor sosial yang tak karuan pada saat itu.
Pada tahun 1966-1972, Kancah kontestasi politik mulai memuncak, dari keputusan presiden yang tak memunculkan hasil, muncul lah gerakan mahasiswa pertama kali di Indonesia. Yang melepas identitas organisasi guna meminimalisir klaim politik identitas.
Seperti yang sudah diketahui di kalangan masyarakat umum, gerakan mahasiswa pertama pada saat itu, ada tunggangan politik. Karena sebelum meletus nya gerakan mahasiswa, presiden seokarno telah membubarkan dua partai politik yang tidak pro-atas pemerintahan. Kedua partai tersebut yaitu “Masyumi & PSI”.
Setelah gerakan mahasiswa meletus, munculah pembahasan atas kekuasaan tertinggi “presiden” dari kubu ABRI, Jendral Soharto yang di bawahi partai PSI. Sehingga munculkan keputusan sepihak atas pelengseran presiden soekarno.
Era pasca reformasi dan kekuasaan identitas, matinya pemikir.
Orde baru dengan gagah militerisme yang berkuasa tiga dekade (32 tahun), telah runtuh. Memasuki wibawa cerah yang berspesifikasi visioner. Tentu saja menjadi semangat baru untuk pengisian kursi. Tetapi semangat baru diwarnai dengan kontroversi. Identitas organisasi mahasiswa yang berebut kuasa dari HMI, PMII, PMKRI, GMNI, KAMMI, dsb.
Pada saat orde baru, organisasi ini menolak akan kekuasaan nepotisme dan otoritasi. Nemun berkebalikan setelah reformasi, seribu harapan datang, disambut dengan pembalasan otoritas politik. Seperti yang di lakukan beberapa orang dari organisasi mahasiswa terharap rakyat indonesia, fahri hamzah dengan revisi RUU KPK, dan para DPRI yang di perkasai Fadli zon yang ngotot akan RKUHP. Sangat memilukan bagi nama mahasiswa yang ternodai oleh almuni nya. Seakan-akan tidak ada jembatan baru untuk mengedepankan cita cita nya sebagai “agen of change & agen of control”, dan cita-cita tersebut seakan menjadi utopis yang selalu di bayangkan.
Memasuki era persiden susilo bambang yudhoyono sampai dengan presiden joko widodo. Semua orang tahu pada kemimpinan kedua orang tersebut yang bermain dalam segi sepihak keputusan yang non-konstitusional. Begitu dengan mahasiswa yang semakin tidur tanpa aksi ideologis. Gerakan sosial & politik, semakin di tidurkan begitu saja, tanpa pertanyaan filosofis oleh mahasiswa (kenapa ?). Dan begitu dengan dosen yang di proyeksi oleh pemerintahan untuk meredam gerakan. Dengan ambisi kerja layak dan lulus cepat, mahasiswa sudah tidak memperdulikan keadaan dalam kesadaran warga negara (demokrasi). Layak untuk di putuskan bahwa demokrasi telah mati. Mahasiswa yang bereksistensial akan politik identitas, organisasi. Tak memperdulikan kawan yang mati dalam tragedi “September 2019” ada beberapa kawan meninggal, mahasiswa malah mencari panggung untuk menunjukan strategi politik dari masing-masing organisasi nya.
Pada era orde lama, Indonesia mengalami sebuah transisi ideologis dan sektor ekonomi-politik. Krisis ekonomi dan ketimpangan sosial menghantui, kala itu. Dan sektor politik sudah buntu, tidak terobosan dari kubu pemerintahan Soekarno (Presiden RI, Pertama).
Lahirlah mahasiswa yang kritis dan subtansial pada saat, dengan organisasi yang memiliki ranah potensial kepada kawasan politik. Seperti halnya HMI, PMII, PMKRI, GMNI, CGMI, MAPALA, KAMI, GMKI. Organisasi yang berbasis kepada diskursus idelogy politik tentunya memasifkan pembhasan sektor sosial yang tak karuan pada saat itu.
Pada tahun 1966-1972, Kancah kontestasi politik mulai memuncak, dari keputusan presiden yang tak memunculkan hasil, muncul lah gerakan mahasiswa pertama kali di Indonesia. Yang melepas identitas organisasi guna meminimalisir klaim politik identitas.
Seperti yang sudah diketahui di kalangan masyarakat umum, gerakan mahasiswa pertama pada saat itu, ada tunggangan politik. Karena sebelum meletus nya gerakan mahasiswa, presiden seokarno telah membubarkan dua partai politik yang tidak pro-atas pemerintahan. Kedua partai tersebut yaitu “Masyumi & PSI”.
Setelah gerakan mahasiswa meletus, munculah pembahasan atas kekuasaan tertinggi “presiden” dari kubu ABRI, Jendral Soharto yang di bawahi partai PSI. Sehingga munculkan keputusan sepihak atas pelengseran presiden soekarno.
Era pasca reformasi dan kekuasaan identitas, matinya pemikir.
Orde baru dengan gagah militerisme yang berkuasa tiga dekade (32 tahun), telah runtuh. Memasuki wibawa cerah yang berspesifikasi visioner. Tentu saja menjadi semangat baru untuk pengisian kursi. Tetapi semangat baru diwarnai dengan kontroversi. Identitas organisasi mahasiswa yang berebut kuasa dari HMI, PMII, PMKRI, GMNI, KAMMI, dsb.
Pada saat orde baru, organisasi ini menolak akan kekuasaan nepotisme dan otoritasi. Nemun berkebalikan setelah reformasi, seribu harapan datang, disambut dengan pembalasan otoritas politik. Seperti yang di lakukan beberapa orang dari organisasi mahasiswa terharap rakyat indonesia, fahri hamzah dengan revisi RUU KPK, dan para DPRI yang di perkasai Fadli zon yang ngotot akan RKUHP. Sangat memilukan bagi nama mahasiswa yang ternodai oleh almuni nya. Seakan-akan tidak ada jembatan baru untuk mengedepankan cita cita nya sebagai “agen of change & agen of control”, dan cita-cita tersebut seakan menjadi utopis yang selalu di bayangkan.
Memasuki era persiden susilo bambang yudhoyono sampai dengan presiden joko widodo. Semua orang tahu pada kemimpinan kedua orang tersebut yang bermain dalam segi sepihak keputusan yang non-konstitusional. Begitu dengan mahasiswa yang semakin tidur tanpa aksi ideologis. Gerakan sosial & politik, semakin di tidurkan begitu saja, tanpa pertanyaan filosofis oleh mahasiswa (kenapa ?). Dan begitu dengan dosen yang di proyeksi oleh pemerintahan untuk meredam gerakan. Dengan ambisi kerja layak dan lulus cepat, mahasiswa sudah tidak memperdulikan keadaan dalam kesadaran warga negara (demokrasi). Layak untuk di putuskan bahwa demokrasi telah mati. Mahasiswa yang bereksistensial akan politik identitas, organisasi. Tak memperdulikan kawan yang mati dalam tragedi “September 2019” ada beberapa kawan meninggal, mahasiswa malah mencari panggung untuk menunjukan strategi politik dari masing-masing organisasi nya.
Baca Disini : Didaktik
Pembahasan intelektual dan pelaksanaan secara sosiologis, terintervensi oleh kekuasaan, ketua umum di proyeksi oleh badan organisasi guna meredam itu semua. Seperti program kegiataan dan program kerja nya. Kesadaran kritis seakan mati suri begitu saja. Kasus-kasus sosial menghantui, seperti perusakan ekologis dan penggusuran sepihak, mahasiswa dengan bangga mengatakan penyambung lidah rakyat. Ujuran mahasiswa tak mununjukan realisme yang sesungguh nya. Kepentingan politik kampus & politik organisasi dikedepan kan. Tetapi politik sosial bermasyarakat dibiarkan dan tidak dipedulikan. Nasib buruh yang terinjak-injak oleh “Omnibuslaw”, dan mahasiswa malah bodoh amat terhadap isu isu sosial. Sangat miris bukan.
Kematian Kaum Intelegensia
Reviewed by HB Media
on
April 24, 2020
Rating:
No comments: